Postingan

Ibu Senang Semua Senang

Seorang balita menjerit kesakitan, dahinya memerah. Si Ibu panik, karena lama kelamaan dahi balitanya membengkak kebiruan. Belum selesai dengan kepanikannya, Si Bapak datang dengan bentakannya. Si Ibu semakin panik, tak tahu harus berbuat apa, apa yang dilakukanya menjadi salah. Mata belo Si Bapa semakin menghujam jantungnya, seakan Si Ibu penyebab balitanya celaka, tak becus menjaganya. Rasa bersalah semakin merayapi hatinya. Hingga malam tiba, mata Si Ibu tak bisa terpejam. Padahal lelah mendera tubuhnya. Matanya dipaksakannya untuk tidur, karena  ia harus bangun sebelum fajar. Didekapnya tubuh balitanya yang terlelap tidur, meminta maaf berkali-kali.  Ditiupnya benjolan sebesar bola pingpong yang bertengger di dahi balitanya. Ia terlelap setelah tangisan membanjiri matanya. Ia menangis bukan hanya karena balitanya celaka, tapi juga karena perkataan dan sikap suaminya yang menusuk hatinya. Usia anak balita memang sedang aktif-aktifnya. Butuh konsentrasi dan perhatian yang ekstra. H

Si Kupik

Tugas Tantangan Pekan 2 Tema Hewan Peliharaan Si Kupik Bergegas aku menuju halaman belakang, dengan tangan menenteng seember baju siap jemur. Udara dingin langsung menerpa, angin berhembus dari pesawahan dengan kencang. Sepagi ini awan sudah menggelayut hitam. Alamat hujan lebat akan segera turun. Aku urungkan menjemur di halaman terbuka. Aku pilih menjemur di pinggir halaman, bagian yang tertutupi atap rumah. Sebenarnya aku malas menjemur di situ, omelan panjang Mas Eka bak kereta api pasti menjambangi telingaku. Pasalnya tempat itu dipenuhi tanaman hias koleksinya. “Kan tidak indah kalau ditambah hiasan jembrengan baju!” begitu kilahnya. Aku terkekeh mengingat mimiknya waktu itu. Terpaksa aku melanjutkan niat menjemur di tempat itu, mengingat tak ada tempat lain yang cocok untuk menjemur di musim hujan begini. Tempatnya terlindungi dari hujan, tapi sekaligus tersorot sinar matahari bila hujan reda. Makanya Mas Eka memilih tempat itu sebagai tempat koleksi Bonsai Beringi

Tangkis Penyakit "M" dengan RCO

“Bruuuk ... !!!” Tiba-tiba suara benda jatuh tepat di hadapanku. Mataku yang terlelap sesaat langsung terjaga kaget.  Kutengok benda apa yang jatuh sambil memaksa mataku terbuka lebar. Rupanya buku yang sedang aku baca. Akhirnya buku itu kupeluk sambil kulanjutkan menganyam bulu mataku lagi. Hampir setiap baca buku, mata ini tak bisa diajak kompromi. Baru beberapa halaman atau malah beberapa baris, kelopaknya otomatis menutup pelan-pelan dengan nyamannya. Hm, begini nasib si emak yang enggak bisa meluangkan waktu baca-baca di siang hari. Kalaupun ada, acara TV atau Drama Korea membajak konsentrasi mataku, Hehe. Buku-buku menumpuk di meja yang sengaja aku pisahkan dari rak buku. Niatnya membereskan bacaan, tapi buku-buku itu malah teronggok lesu di sudut meja. Setiap membereskan meja, teringat lagi nasib buku-buku itu. Niat dalam hati setiap malam  harus menyelesaikan membacanya minimal setengahnya,  tapi setelah malam tiba, aku hanya memeluknya saja ckckck . Ternyata  ODOP (One Day O

Perkenalan Terindah

Rambutnya tergerai panjang, dibiarkannya dimainkan angin. Dia hanya merapikan poninya yang kaku karena jelly rambut. Seragam putih abu melekat di tubuhnya yang cenderung gemuk. Entah kenapa teman laki-lakinya banyak yang tertarik padanya. Padahal sikapnya sering jutek jika berhadapan dengan mereka. Tapi jangan salah, dia ramah dan friendly terhadap teman-teman perempuannya. Hingga mereka menyukainya. Saat ulang tahunnya tiba, mereka memberikan surprise yang luar biasa. Dia anak baru pindahan dari Bandung. Mengikuti orang tuanya yang berpindah tugas. Padahal baru setahun mengecap romantika anak sekolah di  sebuah sekolah menengah atas negeri di kota Bandung. Namanya langsung ngetop, karena berasal dari Ibu Kota Jawa Barat. Kota yang terkenal banyak perempuan cantiknya hehe. Bukan itu, maksudnya kota yang ramai dan modern . Banyak mall dan bioskop ternama, gudangnya baju-baju yang fashionable. Tempat yang asri dan indah, sesuai julukannya Paris Van Java . Begitu mereka mengenalny

Anak Si Bapak

“ Geeer ... !!!“   Semua yang hadir di tempat pemancingan itu tertawa serempak. Hingga riuhnya memekakkan telingaku. Dadaku terasa sesak. Tak tahan memendamnya, akhirnya mulutku berteriak. “Diaaam ... !!!” Tawa mereka terhenti seketika, dan semua mata tertuju padaku. Tapi setelah mengetahui aku yang berteriak, tawa mereka semakin riuh. Aku pun menangis sejadi-jadinya sambil berteriak, “Bapak ... Bapak ... !!!” Bapakku yang basah kuyup karena tercebur ke  kolam pemancingan bergegas menghampiriku, sambil ikut tertawa.  Melihatku berteriak misuh-misuh, mereka semakin gemas. Mereka terus menggodaku. “Bapaknya ceburin lagi ya ... !” Aku semakin teriak histeris sambil menggelantung di tangan Bapak.  Saat itu, usiaku baru lima tahun. Tapi masih melekat dalam ingatanku. Saking sayangnya pada Bapak, aku tak rela orang-orang  mentertawakannya saat tercebur ke kolam pemancingan. Sejak saat itu, teman-teman kantornya memanggilku ‘Anak Si Bapak’. Tak heran mereka mengenalku dan kerap menggodaku

Membumi Di Bumiku

Dua bulan telah berlalu. Tak terasa aku mengikuti serangkaian ritual literasi yang diadakan ODOP (One Day One Post) Batch 5. Serangkaian tugas menulis dan sharing ilmu. Grup besar ODOP Batch 5, membentuk grup-grup kecil yang didampingi para PJ . Tujuannya agar semua tugas menulis dari peserta terekap rapi. Selain itu informasi dari grup besar tersampaikan dengan lebih baik. Juga agar setiap tulisan peserta mendapat giliran diapresiasi oleh semua anggotanya. Sudah rejekiku, aku dikelompokkan dalam grup kecil ‘Bumi’. Dalam Bahasa Sunda, bumi berarti rumah. Begitulah bagiku, grup kecil ini menjadi rumah literasiku. Di sini, para PJ kuanggap orang tuaku, walaupun usia mereka terpaut jauh lebih muda dariku, bahkan  ada yang beda beberapa tahun dari anak sulungku hehe. Tapi dalam soal menulis, ilmu mereka mumpuni, keren dech . Seperti anak menuruti orang tua, aku patuh pada aturan mereka demi kebaikanku sendiri. Mungkin juga harusnya aku dijewer ya? Hehe. Dan teman-teman seperjuanga

Semerbak Jasmine (Part 14)

Aku usap ukiran nama yang terpahat pada nisan batu milik Jasmine.   “Jika kau ada, lima tahun umurmu sekarang. Sudah masuk taman kanak-kanak.  Bunda sibuk mengantarmu sekolah ... ” bisikku. “ Tapi Bunda yakin, Jasmine sudah tenang di alam sana, ” lanjutku. Aku taburkan bunga melati di atas tanah kuburnya. Harum semerbak menyentuh hidungku. Desiran serumpun pohon bambu terdengar merdu. Area pekuburan ini semakin luas, semakin banyak nisan bermunculan. Biasanya aku ke sini bersama Mas Nika. Kali ini aku putuskan datang sendirian. Aku harus membiasakan diri, nanti semuanya tidak akan sama. Aku harus mandiri, harus bisa sendiri melakukan segala sesuatunya. Aku melanjutkan membersihkan kubur Jasmine. Tiba-tiba ada yang mendekap tubuhku dari belakang, aku pun meronta sekuat tenaga. Aku tengok ke belakang, nampak Mas Nika tersenyum manis. Jantungku hampir copot dibuatnya. Aku pun marah, dia malah menempelkan telunjuknya di bibirku. Aku pun sadar berada dimana. Dia meminta maaf sambil t